Napak Tilas

Zhou En Lai, Sebuah Kenangan KAA-1955


Jackson Leung bersama foto ketika dirinya ditugasi mengalungkan bunga kepada Zhou En Lai ( Foto: jabar.tribunnews.com)

Jackson Leung bersama foto ketika dirinya ditugasi mengalungkan bunga kepada Zhou En Lai ( Foto: jabar.tribunnews.com)

Pagi-pagi buta, Leung Sze Mau muda dijemput oleh sebuah mobil sedan besar dini hari. Hari itu, bukanlah hari biasa bagi Leung, dan juga warga Bandung. Karena, pelajar SMP itu diamanahi sebuah tugas besar. Saking besarnya, dia sendiri tidak boleh bercerita kepada siapa pun perihal tugas ini. Bahkan, Leung sendiri tidak tahu tugas yang akan diembannya.

Mobil sedan besar itu menuju lapangan udara yang kini bernama Husein Sastranegara. Sepanjang jalan, Leung melihat ribuan masyarakat Bandung berkumpul di kedua sisinya. Hari itu, 16 April 1955, merupakan hari kedatangan delegasi dari negara-negara Asia-Afrika. Mereka akan menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Gedung Merdeka, Bandung.

Leung pun tiba di Lapangan Udara Andir. Dia disuruh menunggu kedatangan sebuah rombongan delegasi. Leung sendiri belum diberitahukan apa tugasnya dan siapa yang dia tunggu. “Di bandara (Andir) saya menunggu lama sampai sore,” cerita Leung dengan Bahasa Indonesia beraksen Tionghoa. “Namun, delegasi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang,” lanjutnya.

Keesokan harinya, Leung dibawa kembali kembali ke lapangan udara. Seperti hari sebelumnya, dia belum juga diberitahukan tugasnya dan orang yang ditunggunya. “Petugas hanya mewanti-wanti bahwa saya tidak boleh menerima barang apa pun dari siapa pun,” kenang Leung.

Seketika, pemilik nama Jackson Leung ini berpikir seperti seorang prajurit. Jiwa patriotnya muncul dan bergaung dalam hatinya. “Kalau ada penyerangan, saya akan berkorban,” tekadnya ketika itu.

Selang beberapa saat sebelum pesawat delegasi yang ditunggu tiba, Leung baru tahu bahwa tugasnya adalah mengalungkan bunga kepada ketua delegasi China, Zhou En Lai. Zhou adalah Perdana Menteri China ketika itu. Lantaran negaranya merupakan musuh Amerika, membuat Zhou selalu menjadi target pembunuhan intelijen barat.

Seminggu sebelumnya, 11 April 1955, sebuah insiden menimpa sebuah pesawat India berjuluk Kashmir Princess. Pesawat itu jatuh di kepulauan Natuna. Hasil penyelidikan membuktikan Kashmir Princess disabotase. Dalam peristiwa tersebut, 11 staf delegasi RRC dan 2 wartawan tewas. Sedianya pesawat tersebut akan membawa Zhou En Lai ke Indonesia. Beruntung, pada detik-detik terakhir, Zhou memutuskan untuk menunda keberangkatannya.

Tak berapa lama, pesawat Zhou tiba. Leung disuruh segera berlari mendekati Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo yang tengah berjalan cepat menuju Zhou En Lai. Zhou dan Ali bersalaman dan berpelukan. “Mereka saling menyapa dengan semangat,” cerita Leung.

Tangan kiri Ali kemudian menginstruksikan Leung untuk mendekat sembari tangan kanannya menunjuk ke Perdana Menteri China pertama itu. Leung segera mengalungkan bunga kepada Zhou. “Ni hao,” sapa Leung kepada Zhao.

Leung ingat sekali paras wajah Zhou ketika itu. Telapak tangannya lembut, berwarna putih kemerahan. Kedua orang besar tersebut mengapit Leung muda. “Pak Zhou memeluk saya dan ibu jarinya menekan kuat di dada saya. Sentuhannya begitu hangat,” kenang Leung dengan rasa bangga dan haru. Saking hangat dan kuatnya, Leung masih bisa merasakan aura kebesaran kedua perdana menteri tersebut, meskipun peristiwa itu sudah terjadi 57 tahun yang lalu.

Kini, diusianya ke-72 tahun, pengusaha di Hongkong ini berdiri menceritakan pengalamannya di ruang seluas lapangan sepak bola tersebut. Lebih dari 100 warga Bandung hadir dan terpesona mendengarkan cerita Leung. Decak kagum membahana di sebuah ruangan di Gedung Merdeka yang digunakan Konferensi Asia Afrika pada 18 – 24 April 1955 silam.***

Categories: Napak Tilas | Tinggalkan komentar

Memoar di Balik Pekik “Merdeka!”


Pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945. (Foto: Blogspot.com)

Pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945. (Foto: Blogspot.com)

Sejak kapan orang-orang Indonesia mengenal kata “Merdeka”? Sejak kapan mereka menyadari arti penting sebuah kemerdekaan? Sejak kapan pula bangsa Indonesia memiliki kesadaran berkebangsaan? Begitulah pertanyaan yang diutarakan oleh Hawe Setiawan di hadapan kawan-kawan Asia-Africa Reading Club (AARC) di Gedung Merdeka beberapa waktu silam.

Bagaimana pun, kemerdekaan bukanlah sosok yang begitu saja dapat dimengerti oleh rakyat Indonesia. Di Surabaya, pejuang kemerdekaan digambarkan sebagai sosok berambut panjang dengan pistol di kanan-kirinya dan bertindak seperti koboy. Kemerdekaan juga ditafsirkan sebagai bebas bertindak sesuka hati. Padahal, tetap saja ada aturan main yang berlaku dalam kemerdekaan.

Bahkan, ada sebuah anekdot yang cukup miris tentang makna kemerdekaan. Dikisahkan tentara NICA yang merupakan gabungan militer Inggris dan Belanda, tiba di sebuah kota. Di dekatnya ada seorang lelaki paruh baya yang tak sengaja berpapasan dengan konvoi. Tanpa pikir panjang, lelaki ini kemudian meneriakan kata “merdeka” lengkap dengan kepalan tangan di atas kepalanya. Tanpa pikir panjang pula dan tanpa basa-basi, tentara NICA langsung menembaknya hingga tewas. Ternyata, sang lelaki tidak paham makna kemerdekaan. Di benaknya, kata “merdeka” dan kepalan tangan di atas kepala, dimaknainya sebagai kata “halo”, sebuah ungkapan untuk menyapa.

Pada era 1920-an, kesadaran akan jati diri bangsa terjajah dan gagasan tentang Indonesia muncul di kalangan para elite. Mereka adalah sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di Belanda. Beberapa di antaranya adalah Moh. Hatta dan Ali Sastroamidjojo. Guna menyatukan seluruh mahasiswa yang berasal dari Hindia Belanda, mereka membuat sebuah kelompok belajar bernama Perhimpunan Indonesia. “Namun bukan study club (kelompok belajar) yang tujuannya happy-happy,” terang Hawe.

Kelompok belajar ini memiliki visi dan program untuk mewujudkan Indonesia dan memerdekakan bangsanya dari penjajahan kolonial Belanda. Gagasan-gagasan ini secara rutin dituangkan melalui tulisan kemudian dicetak dalam brosur, buku, pamflet, majalah, buletin, dan media cetak lainnya. Gagasan-gagasan ini kemudian menyebar ke dalam jaringan mereka hingga ke Nusantara.

Salah satu orang yang meneruskan gagasan ini adalah Soekarno. “Soekarno ini orangnya multitalent,” ungkap dosen Universitas Pasundan ini. Soekarno memiliki kemampuan membumikan gagasan-gagasan Hatta, sehingga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara luas.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia mulai banyak yang bersekolah dan mengenal huruf. Mereka juga sudah mulai membudayakan membaca. Sehingga dengan mudahnya gagasan tentang kemerdekaan diterima oleh masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, banyak orang yang mulai memiliki kesadaran bahwa mereka adalah orang Indonesia. Lebih jauh lagi, membuat mereka sadar akan makna kemerdekaan.

“Kebangsaan berpadu dengan kebudayaan. Di sinilah titik kesimpulannya,” tandas Hawe. Lebih lanjut, kebangsaan dibentuk oleh mekanisme kebudayaan –dalam hal ini budaya membaca dan menulis.

Gagasan kebangsaan ini kemudian tersalurkan dalam berbagai mekanisme kehidupan yang lain. Mulai dari identitas pakaian berupa peci hingga gesekan biola WR Supratman dengan lagunya Indonesia Raya. Kemudian lagu ini dinyanyikan setiap orang di jalanan. “Itulah proses terbentuknya Indonesia. Ada tindakan-tindakan kecil kebudayaan yang membangun Indonesia,” simpul budayawan Bandung ini. “Mulai dari sastra yang adiluhung sampai lagu yang populer, memiliki kontribusi besar terhadap (berdirinya) Indonesia,” tandasnya.

Identitas Kebangsaan

Foto: blogspot.com

Foto: blogspot.com

Proses kemerdekaan dan kesadaran berbangsa Indonesia adalah sebuah pencapaian yang luhur. Karena sebelum merdeka, masyarakat tidak pernah merasa memiliki kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Mereka lebih banyak merujuk kepada kerajaan-kerajaan pra-Indonesia, dan mengagung-agungkannya sebagai identitas primordialnya.

Di masyarakat internasional, kebangsaan menjadi referensi utama berhubungan antar negara. Umumnya, orang di dunia tidak akan peduli agama, ras, atau suku, tetapi identitas kebangsaannya. Contohnya saja ketika masuk sebuah negara. Pertama kali yang dipedulikan adalah identitas kebangsaannya.

Identitas kebangsaan merupakan sebuah gagasan yang digagas oleh Benedict Anderson dalam buku Imagine Community. Di situ, Anderson mendefinisikan Nation sebagai Imagine Political Community. Imagine berarti digagas, dipikirkan, dan juga dibayangkan. Bangsa Indonesia merupakan hasil kreativitas abad 20 yang digagas, dipikirkan, dan dibayangkan oleh Perhimpunan Indonesia. Kata kuncinya adalam imajinasi kolektif, yang juga berarti imajinasi komunitas.

“Mengapa kebangsaan disebut ‘something imagine‘?” tanya Hawe kembali. Karena kita tidak mungkin mengenal seluruh orang-orang Indonesia. Sehingga yang menjadi pegangannya adalah imajinasi tentang identitas bernama Indonesia. Misalnya saja ketika bertemu sesama orang Indonesia di luar negeri, kita akan menyebutnya sebagai “my fellow of Indonesia“. “Meskipun bila bertemu di dalam negeri justru akan hare-hare (acuh tak acuh),” canda Hawe.

Dalam hal ini, keindonesiaan adalah sesuatu yang dibayangkan, karena tidak ada pegangan yang bisa diraba. Sedangkan makna komunitas, merupakan ikatan bersama. Dalam hal ini, semacam kelompok yang memiliki banyak anggota.

Lalu, bila bangsa didefinisikan sebagai komunitas yang diimajinasikan (imagine community), lalu apa yang mungkin terealisasi? Lebih lanjut, Hawe menerangkan bahwa imajinasi kolektif direalisasikan antara lain melalui bahasa, terutama bahasa tulis yang kodenya dimengerti oleh sesama.

Kegiatan membaca dan menulis barangkali merupakan hal yang sangat penting dan paling memungkinkan untuk merealisasikan imajinasi. Contohnya saja dengan Ali Sastroamidjojo. Dia boleh dikubur, tetapi tulisannya masih bisa dibaca. Tulisan Ali yang dibaca ini merupakan imajinasi kolektif.

Semua komunitas harus memiliki imajinasi kolektif ini. Harus ada bahasa bersama yang mampu menghubungkan orang, semacam rumusan kehidupan bersama. Karena merupakan imajinasi, maka rumusan ini bisa didefinisikan terus menerus. Dalam hal ini, Hawe menandaskan bahwa “Kitalah yang menentukan masing-masing anggota kehidupannya.”

Memelihara Kebudayaan

Kebudayaan sendiri sebenarnya berbicara tentang pola. Bagaimana pun, kehidupan manusia sebenarnya tanpa pola, kacau, dan tidak terencana. Kekacauan ini seolah-olah tidak bisa dibaca atau chaos of insident.

Meskipun begitu, manusia mencoba menata kekacauan ini dengan mencari pola-pola. Hal ini merupakan bagian kita untuk meraih makna dalam kehidupan. Manusia yang tidak bisa membaca peristiwa atau pola ini, akan menjadi tidak waras. Mereka yang tidak waras, tidak akan bisa mempersepsi keadaan.

Dalam tatanan tata negara, manusia bisa dengan mudah merubahnya. Syaratnya adalah kesepakatan bersama. Namun, tidak mudah untuk merubah kebudayaan. Karena hal ini membutuhkan waktu yang lama. Bagaimana pun, budaya adalah hal yang sulit berubah.

Foto: blogspot.com

Foto: blogspot.com

Contohnya saja identitas primordial bangsa Indonesia. Meskipun sudah 67 tahun merdeka, tapi masih banyak orang berpikiran seperti orang-orang pra-Indonesia. Hal ini salah satunya dapat dilihat dalam pandangan bangsa Indonesia terhadap presiden. Pemimpin negara dipandang sebagai raja atau sultan. Sehingga istilah yang digunakan pun masih perintah atau pemerintah. Secara harfiah bermakna orang yang memerintah, bukan melayani rakyat. Sehingga jangan heran pemerintah tidak melayani rakyat, karena dia memerintah.

Dalam hal ini, bangsa Indonesia ingin egaliterian di satu pihak. Namun, di pihak lain, secara kultural masih belum berubah. Akhirnya yang terwujud adalah sinkretisme atau campuran yang beraneka ragam. Contohnya terdapat dalam konsep Nasional, Agama, Komunis (Nasakom). Konsep ini menurut Hawe merupakan bentuk sinkretisme politik di era Soekarno guna meramu keragaman di Indonesia.

Meskipun begitu, inilah kekuatan Indonesia, ada dalam hal meramu. Tak heran bila Hawe menilainya sebagai bangsa yang sulit didefinisikan. “Kacau sekaligus indah,” cetusnya.

Secara kebudayaan, hal ini merupakan kelebihan bangsa Indonesia. Bangsa ini mampu memelihara kreativitas kolektif yang memungkinkan terwujudnya pendidikan ke arah pembukaan wawasan baru.

Kuncinya adalah pendidikan humaniora dan kebahasaan. Di kemudian hari, hal ini bisa membantu memelihara Indonesia. Karena pendidikan memiliki peran penting, terutama memberikan kesadaran akan kekayaan perspektif. Sehingga orang menjadi peka terhadap kehidupan dan mampu mengenali serta menyusun pola kehidupannya.***

Categories: Kegiatan, Napak Tilas | Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.