Linimassa 2, Cerita Luar Biasa Persembahan Bangsa


Oleh: Ricky Mardiansyah

Suasana menonton film Linimassa 2. (Foto: Dok. MKAA)

Suasana menonton film Linimassa 2. (Foto: Dok. MKAA)

Film adalah media yang ampuh. Perannya tidak hanya sebagai hiburan semata. Lebih dari itu, film bisa menjadi alat propaganda politik. Seperti pada masa Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Kedua blok saling menyerang menggunakan media film.

Film juga berfungsi sebagai alat penyebaran budaya dan pengaruh dari negara adikuasa seperti sekarang ini. Jika diproduksi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepedulian, film juga dapat menjadi alat edukasi dan penyebar energi-energi positif untuk masyarakat luas.

Sudah sejak lama saya suka menonton film dari berbagai genre. Namun untuk genre film dokumenter, jumlah yang saya tonton masih bisa dihitung dengan jari dari satu tangan.

Salah satunya adalah Linimassa 2. Sebuah film dokumenter yang diproduksi secara crowd funding atau patungan. Dananya sendiri berasal dari berbagai kalangan, baik perseorangan maupun institusi. Meskipun bertajuk patungan, tetapi dana yang terkumpul mencapai 167 juta Rupiah.

Keunikan lainnya, film garapan sutradara Dandy Laksono ini diputar serentak di 50 titik berbeda di seluruh Indonesia pada 3 Nopember 2012 lalu. Termasuk salah satunya di Museum Konferensi Asia-Afrika Bandung. Saya sendiri, dipercaya sebagai pembahas film ini dalam sesi diskusi.

Linimassa 2 dibuka dengan cuplikan berita konflik Ambon 11 September 2012 lalu. Cuplikan ini berasal dari berbagai media massa nasional, baik online maupun televisi. Cuplikan ini ternyata mampu menggugah rasa penasaran saya. “Apa maksud di balik cuplikan itu?” pikir saya waktu itu.

Jawabannya pun cukup mengejutkan. Cuplikan-cuplikan berita tersebut memperlihatkan media massa mainstream yang menyampaikan informasi yang belum tentu benar terjadi di lapangan. Saya suka dengan ungkapan yang disampaikan film ini. “Musuh terbesar media adalah dirinya sendiri. Musuh yang mestinya diajak berdamai. Berdamai dengan rating dan iklan,” gugat film ini.

Contohnya saja mengenai pemberitaan konflik Ambon. Media massa mainstream saat itu menyampaikan informasi yang tidak sesuai keadaan sebenarnya di lapangan. Alih-alih menenangkan, justru pemberitaannya malah memperpanas keadaan.

Untungnya ada orang-orang yang peduli dan aktif menggunakan teknologi sosial media untuk menyebarkan informasi yang benar. Almas contohnya. Pemuda Ambon ini menggunakan Twitter untuk memverifikasi keadaan yang sebenarnya terjadi di lokasi terjadinya konflik. Tidak hanya Almas. Banyak komunitas Maluku yang juga berkomitmen untuk menciptakan perdamaian melalui penyebaran informasi yang benar dan berpihak pada perdamaian. Bagaimana pun, kita butuh informasi positif yang mampu membuat pikiran kita menjadi positif, sehingga kita mampu melakukan hal-hal positif dalam kehidupan ini.

Belum beranjak 10 menit pemutaran, film Linimassa 2 ini sudah membuat saya terkagum-kagum, khususnya dengan perjuangan orang-orang seperti mereka. Kekaguman ini membuat saya memimpikan media massa di Indonesia akan didominasi oleh peace journalism suatu saat nanti.

Linimassa 2. (Foto: linimassa.org)

Linimassa 2. (Foto: linimassa.org)

Linimassa 2 sendiri menurut saya merupakan sebuah film yang sarat inspirasi. Di dalamnya, untaian inspirasi ini dirajut melalui perjalanan seorang jurnalis radio bernama Manda. Ia berkeliling ke berbagai pelosok daerah untuk bertemu orang-orang biasa yang melakukan hal-hal luar biasa menggunakan bantuan teknologi informasi dan media sosial.

Setelah dari Maluku, perjalanan Manda berlanjut ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar itu Manda mendatangi sebuah Kampung Cyber. Sekilas, kampung ini sama seperti kampung-kampung di Yogya pada umumnya. Yang membedakannya, 90 persen rumah warga di Kampung Cyber sudah memiliki akses internet. Bahkan, pos kampling kampung pun dilengkapi akses internet! Fakta yang membuat saya terkejut dan penonton tertawa.

Adapun teknologi yang digunakan kampung ini merupakan RT/RWnet Mandiri. Teknologi ini dirintis oleh Onno W Purbo, sang pakar Internet Indonesia. Warga cukup terbantu dengan kehadiran internet di kampungnya. Misalnya saja anak-anak. Umumnya mereka menggunakan internet sebagai alat bantu belajar dan hiburan.

Salah satu pelajaran penting dari film ini, orang tua harus menemani anak-anaknya ketika mengakses internet. Tujuannya, agar anak-anak tidak terpengaruh dampak buruk dari internet. Hal ini pula lah yang berlaku di Kampung Cyber. Orang tua harus menemani anak-anaknya selama berselancar di internet.

Internet juga digunakan sebagai media berniaga. Seperti yang dicontohkan Lek Iwon. Dia menggunakan Facebook dan blog sebagai media promosi jualan batiknya. Batik Lek Iwon pun terjual hingga ke mancanegara. Selain tujuan komersil, Lek Iwok juga bertekad melestarikan batik melalui internet. Mungkin, atas kontribusi kecil Lek Iwok juga lah, pengakuan batik sebagai warisan dunia oleh UNESCO, semakin terpatri di masyarakat internasional.

Film Linimassa 2 juga menunjukan kecanggihan internet sebagai sahabat untuk melestarikan bumi. Inisiatif ini salah satunya hadir dari pedalaman Jawa Barat. Tepatnya di Tasikmalaya, sebuah radio komunitas bernama Ruyuk FM menggunakan internet sebagai media penyadaran penghijauan. Mereka menggunakan situs web dan perangkat lunak berbasis open source, perangkat lunak yang gratis dan kebal dari virus.

Selain menggunakan internet sebagai sarana penyadaran penghijauan, Ruyuk FM juga mengunggah informasi seputar kegiatan warga desanya. Bahkan, program pemerintah dan laporan desa pun masuk dalam situs mereka yang beralamat di mandalamekar.or.id. Adapun kontributornya adalah warga kampunya sendiri.

Ada satu hal unik dari masyarakat Tasikmalaya ini ketika mengakses internet. Mereka harus berdiam diri di tengah sawah hanya untuk mengunggah kontennya ke internet. Selidik punya selidik, di tengah sawah inilah mereka bisa mendapatkan akses internet yang baik dan stabil. Potret inilah yang membuat kita seharusnya bersyukur atas akses internet di perkotaan yang relatif jauh lebih baik, lancar, dan stabil. Empat jempol untuk Ruyuk FM.

Linimassa 2 tidak hanya menampilkan maskulinitas semata. Film ini juga menyorot aksi srikandi-srikandi Indonesia. Mereka menjadikan internet dan sosial media sebagai alat perjuangan untuk melawan stigma, diskriminasi, dan ketidaktahuan masyarakat. Beberapa srikandi ini, antara lain Ayu Oktariani dari komunitas ODHA Berhak Sehat, Angkie Yudistia dari komunitas disabilitas, dan komunitas Emak-Emak Blogger.

Ayu sendiri menggunakan internet sebagai sarana untuk mensosialisasikan Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) kepada masyarakat. Usahanya ini mampu menyadarkan masyarakat terkait ODHA. Contohnya saja, masyarakat menjadi tahu bahwa wanita maupun pria dengan HIV/AIDS masih bisa menikah dan mempunyai anak seperti pasangan pada umumnya. Pengetahuan ini membangun kepercayaan kepada ODHA dan mengurangi diskriminatif kepadanya.

Perjuangan srikandi lainnya hadir dari kalangan disabilitas, Angkie Yudistia. Dia menyadari bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas selalu ada, bahkan berlipat ganda. Namun, dia tidak ingin dikasihani. Untuk itulah, Angkie berusaha melawan diskriminasi melalui sosial media. Dia banyak mensosialisasikan hak-hak penyandang disabilitas.

Kita, sebagai manusia yang diciptakan tidak kurang suatu apapun oleh Tuhan, seharusnya bersyukur dan malu. Apalagi jika kita mendiskriminasi sahabat kita yang merupakan penyandang disabilitas. Sahabat disabailitas hanya ingin diperlakukan dan mendapatkan kesempatan yang sama seperti orang lain.

Film Linimassa 2 ini juga membuat saya kembali tertegun ketika srikandi lainnya hadir. Seorang wanita tua berusia 72 tahun bernama Yati Rachmat. Meski usahanya termasuk senja, tetapi dia tetap produktif dengan berbisnis online melalui blog. Beliau merupakan anggota dari Emak-Emak Blogger. Alasannya pun sederhana: beliau takut cepat pikun. Melalui sosial media lah Yati mendapatkan jawabannya. Sehingga dia terus berupaya untuk tetap berpikir dan berbuat di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Apakah saya bisa tetap produktif seperti beliau? Kita semua patut mencontoh beliau yang mempunyai keinginan dan semangat kuat untuk produktif dan belajar sesuatu yang baru. Orang awam yang belum tahu banyak tentang internet, bisa belajar bahwa internet dapat menjadi peluang bisnis yang baik.

Perjalanan Manda kembali berlanjut ke pulau Lombok. Di sana ia bertemu komunitas radio Primadona FM. Radio ini diciptakan masyarakat Kampung Bajo dengan segala keterbatasannya. Para pendengar radio dapat menyampaikan keluh kesahnya mengenai pelayanan publik dan keadaan sekitarnya.

Film Linimassa 2 ini juga membuktikan bahwa kondisi pendidikan di daerah terpencil masih sangat memprihatinkan. Hal ini tampak dari kondisi sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Pawang Tumpas Barat. Sarana sekolah hanya beratapkan terpal dan bertiang bambu serta dekat kandang sapi. Meskipun begitu, beruntung kita masih memiliki orang-orang hebat yang mau bekerja dengan ikhlas tanpa bayaran untuk mengajar di daerah terpencil. Seperti ibu guru Sioni.

Kemendikbud dan para wakil rakyat yang duduk di gedung megah di ibukota sana seharusnya melihat film ini. Tujuannya agar mereka sadar dan malu, itu pun apabila mereka masih punya rasa malu.

Ibu guru Sioni sendiri hanya bisa mengeluh ke Primadona FM. Belum jelas kelanjutan ceritanya di Lombok sana. Namun, saya hanya berharap semoga PAUD-nya mendapatkan bantuan yang semestinya.

Lalu hadir juga sosok Kitanep, seorang penjaga hutan Taman Nasional Rinjani. Dia bertugas menjaga pasokan air bagi sebuah dusun di sana. Untuk kerja kerasnya selama sebulan, Kitanep hanya digaji 315 ribu Rupiah. Ketika pipa bocor dan warga menderita kekurangan air, Kitanep juga mengadu ke Primadona FM, sehingga pemerintah turun tangan untuk memberikan bantuan.

Berkat bantuan internet, Komunitas Primadona FM mengunggah foto-foto pipa bocor diambil Kitanep. Hal ini menghasilkan bantuan dari berbagai pihak. Gaji yang kecil tak menghalangi Kitanep untuk bekerja dengan baik dan ikhlas. Hal yang patut dijadikan contoh oleh kita semua, khususnya Anggota Dewan yang terhormat.

Banyak pengetahuan yang kita dapatkan dengan menonton film Linimassa 2 ini. Kita jadi tahu bahwa ada banyak orang biasa di berbagai daerah di Indonesia yang melakukan hal-hal luar biasa berkat penggunaan bijak teknologi dan internet. Meskipun hidup dengan segala kekurangannya, tetapi mereka tetap mampu berguna bagi banyak orang.

Selain itu, kita juga tahu data statistik pengguna internet, sosial media, dan telepon selular di Indonesia yang luar biasa banyaknya. Ditambah kita harus pandai-pandai menyerap informasi, khususnya yang dikeluarkan oleh media mainstream. Satu hal terpenting: jangan mudah terprovokasi. Film Linimassa 2 ditutup dengan lantunan indah nan merdu lagu berjudul Maluku Tanah Pusaka yang dinyanyikan oleh Glenn Fredly.

Film persembahan ICT Watch ini merupakan sebuah film dokumenter yang sangat bagus. Ceritanya begitu menarik dan berbobot disertai beberapa gambaran alam Indonesia yang indah. Film ini bagaikan gambaran linimasa bangsa Indonesia yang menampilkan cerita-cerita luar biasa. Film ini seharusnya diputar juga di semua sekolah-sekolah setingkat SMP dan SMA di seluruh Indonesia. Harapannya, agar para siswa tertular energi positif dari film ini.

Linimassa 2 juga menggugah kesadaran kita semua, khususnya saya sebagai orang yang tinggal di perkotaan dengan segala fasilitas yang ada. Ayo kita belajar dari sosok-sosok hebat di film ini dan gunakan teknologi serta internet sebaik-baiknya agar berguna bagi orang banyak demi kemajuan Indonesia tercinta!*** (YUPS)

Categories: Kegiatan, Resensi | Tag: , , , , | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.